Sejumlah anggota Abu Sayyaf yang ditahan di Filipina.
Rafki Hidayat | bbc.com - Menelisik penyanderaan terhadap 10 orang warga negara Indonesia oleh milisi Abu Sayyaf di Filipina selatan, pemerhati terorisme Nasir Abbas menyebut, kelompok itu tidak melihat apa keyakinan yang dipeluk calon korbannya.
“Mereka acak saja, ada Muslim, ada yang bukan Muslim. Inti persoalannya bukan di situ, kapal ini kan membawa barang berharga, membawa batubara,"unkap Nasir, Kamis (31/03/2016).
Nasir pun menambahkan, ""Jadi ini milik perusahaan yang kaya. Jadi yang dipertaruhkan itu bukan orang disandera. Ini ada permintaan tebusan. Ini adalah bentuk pemerasan terhadap perusahaan (semata).”
Pada pertengahan 2014, kelompok separatis yang terdiri dari milisi Islam dan berbasis di kepulauan di Filipina selatan, seperti Jolo, Basilan, dan Mindanao itu, disebut-sebut telah berbaiat kepada kelompok yang menamakan diri mereka Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
ISIS dikenal tidak pandang bulu dalam melakukan aksinya.
Menurut Nasir, Abu Sayyaf hanya “ikut-ikutan saja (bergabung dengan ISIS). Perbuatan yang mereka lakukan itu, sudah lebih awal dari ISIS. Masalah menculik, membunuh, mereka sudah lebih awal dari ISIS.”
Sejak terpecah dari kelompok induknya, Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) pada pertengahan 1980an, Abu Sayyaf telah menculik ratusan orang. Mayoritas yang disandera adalah orang Filipina dan orang kulit putih.
Tidak jarang sandera tersebut dibunuh, terutama yang tidak memenuhi permintaan tebusan.
Terakhir, pada November 2015, turis Malaysia, Bernard Ghen Ted Fen dibunuh setelah keluarga gagal memenuhi tebusan 40 juta Peso Filipina atau setara Rp 12 miliar.
Tidak terkontrol
Nasir Abbas, yang pernah menjadi anggota kelompok separatis di Filipina mengungkapkan, Abu Sayyaf, berbeda dengan MNLF, dan pecahan lain MNLF, Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
Meskipun sama-sama memeluk Islam dan memperjuangkan kemerdekaan dari Filipina, Abu Sayyaf, lebih tidak terkontrol, karena anggotanya bergabung karena solidaritas, cenderung tidak berpendidikan dan minim pengetahuan, sehingga bergerak melakukan perlawanan karena merasa terintimidasi dan didiskriminasi oleh pemerintah Filipina.
“Mereka seperti gerombolan-gerombolan dengan banyak sel. Pimpinannya saja tidak tahu berapa jumlah anggotanya”.
Menurut Nasir, ini pulalah salah satu penyebab yang mendorong Abu Sayyaf melakukan perampokan, menculik, dan meminta tebusan dalam setiap aksinya.
“Karena tidak mustahil ada di kalangan mereka yang bandit dan penjahat. Jadi, dalam memenuhi kebutuhan mereka, terutama perlengkapan senjata, amunisi, perlu biaya. Dari mana? Mereka tak dapat sumbangan dari luar negeri, mereka bukan orang kaya, bukan pengusaha.”
Pemerintah hati-hati
Tiga hari setelah mendapatkan informasi bahwa 10 WNI disandera oleh milisi Abu Sayyaf di Filipina, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengaku masih terus berkomunikasi intensif dengan Kemenlu Filipina untuk mencari opsi terbaik dalam membebaskan sandera.
“Informasi mengenai pergerakan, posisi, dan kondisi para sandera, dari waktu-ke waktu telah kita peroleh. Kemenlu telah lakukan pula komunikasi dengan pihak keluarga ABK.”
Namun, Kemenlu tampak berhati-hati dalam menyampaikan informasi.
Hingga saat ini belum ada detail penjelasan terkait nasib para sandera dan apa langkah yang akan diambil pemerintah dalam membebaskan sandera.
Abu Sayyaf disebut hanya akan membebaskan sandera jika uang tebusan 50 juta peso Filipina atau setara Rp15 miliar, dibayarkan.
Sementara, militer Filipina yang menyebut bahwa keterlibatan militer Indonesia dalam operasi pembebasan sandera tidak dimungkinkan undang-undang, juga tidak menganjurkan Indonessia melakukan pembayaran uang tebusan.
Referensi |
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160331_indonesia_abusayyaf_islam